Pengertian Estetika

Istilah estetika berasal dari bahasa latin “aestheticus” atau bahasa Yunani “aestheticos” yang bersumber dari kata “aithe” yang berarti merasa.
“Estetika dapat didefinisikan sebagai susunan bagian dari sesuatu yang mengandung pola. Pola mana mempersatukan bagian-bagian tersebut yang mengandung keselarasan dari unsur-unsurnya, sehingga menimbulkan keindahan.” (Effendy, 1993)

Terdapat beragam ajaran klasik mengenai estetika yang perlu dimuatkan sebagai landasan penelitian ini, namun sebisa mungkin tidak terlalu menyimpang jauh dari tujuan komunikasi dan metode analisis, sebagai berikut.
Pandangan Plato tentang keindahan dapat dibagi menjadi dua. Yang satu tentang dunia idea, sedangkan yang lain nampaknya lebih membatasi diri pada dunia yang nyata. Pandangan kedua menyatakan bahwa yang indah dan sumber segala keindahan adalah yang paling sesderhana, yang dimaksud “sederhana” adalah bentuk dan ukuran yang tidak diberi batasan lebih lanjut berdasarkan sesuatu yang “lebih sederhana” lagi. Oleh karena itu, keindahan semacam itu bersifat terpilah-pilah. Keindahan semacam itu hanya dapat ditunjukkan, misalnya warna merah. Kendati begitu, yang majemuk juga dapat dialami sebagai sesuatu yang indah, jika tersusun secara harmonis berdasarkan sesuatu yang betul-betul sederhana. Pandangan yang kedua ini punya keistimewaan karena tidak melepaskan diri dari pengalaman inderawi yang merupakan unsur konstitutif dari pengalaman estetis dan keindahan dalam pengertian sehari-hari.
Pandangan lainnya yang mendekati pandangan kedua dari Plato tersebut adalah dari Aristoteles yang menyebutkan bahwa keindahan menyangkut keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran material. Pandangan ini, menurut Aristoteles, berlaku untuk benda-benda alam ataupun untuk karya seni buatan manusia. Karya seni yang dibicarakan Aristoteles terutama karya sastra dan drama. Ia membicarakan karya drama terutama dalam bentuk tragedi seperti dipentaskan dalam peran-peran diiringi dengan musik dan tarian, titik pangkal pandangan Aristoteles ialah bahwa karya seni harus dinilai sebagai suatu tiruan dunia alamiah dan dunia manusia. Aristoteles tidak menyetujui penilaian negatif Plato atas karya seni, atas dasar penolakannya terhadap teori idea. Dengan karya tiruan, Aristoteles tidak memaksudkan sekedar “tiruan belaka”.
Karya seni diharapkan menjadi lambang atau simbol, yang maknanya harus dapat ditemukan dan dikenali oleh si penggemar karya seni itu, berdasarkan pengalaman sendiri, entah ia dalam posisi sebagai pembaca, pemain atau pun penonton pandangan paling pokok dari ajaran Aristoteles, yaitu Katarsis. Artinya pemurnian, yang menurutnya adalah tujuan karya seni drama dalam bentuk tragedi. Segala peristiwa, pertemuan, wawancara, permenungan, keberhasilan, kegagalan dan kekecewaan harus disusun dan dipentaskan sedemikian rupa sehingga pada suatu saat secara serempak semuanya tampak logis namun seolah tak terduga.
Kupasan yang agak mendekati estetika perenungan adalah yang datang dari Plotinos, Plotinos mendekatkan pengalaman estetis dengan pengalaman religius, bahkan puncak perkembangan estetis itu sendiri adalah pengalaman religius yang disebut pengalaman mistik. Sesuai dengan titik awal filsafat Plotinos (emanasi) semua hal dari Yang Esa dan kembalinya semua itu kepada Yang Esa lagi, titik akhir pun bukan karunia khusus (rahmat), namun hanya penyelesaian dari yang awal itu. Meskipun begitu, tidak banyak insan mengalami titik akhir tersebut karena ia terhambat oleh hyle (materi) yang kurang mengendalikan diri dalam askesis (latihan).
Secara lebih jauh penelitian dengan analisis semiotika ini mendekati segala pemahaman tentang estetika yang menitik beratkan pada keselarasan, keseimbangan, keteraturan dan lainya yang menjadi ciri-ciri khas keindahan. Pendapat Agustinus menyebutkan bahwa kesatuanlah yang menjadi sumber atau dasar keindahan. Yang lebih khasnya lagi ialah bahwa menurut ia pengamatan mengenai keindahan mengandaikan dan memuat suatu penilaian. Artinya apabila kita menilai suatu obyek itu indah, kita mengamatinya sebagai sesuatu yang sesuai dengan apa yang seharusnya ada didalamnya, yakni keteraturannya.
Pengertian berikutnya yang lebih membukakan jalan bagi perkembangan modern, adalah beberapa rumusan keindahan yang datang dari Thomas Aquinas. Seperti “keindahan berkaitan dengan pengetahuan; kita menyebut sesuatau indah jika sesuati itu menyenangkan mata sang pengamat, dan mencoloknya peranan subyek.” Kemudian “keindahan harus mencakup tiga kualitas; integritas atau kelengkapan.., proporsisi atau keselarasan yang benar dan cemerlang”. Dan yang terakhir “keindahan itu terjadi jika pengarahan si subyek muncul lewat kontemplasi atau pengetahuan inderawi.”
Secara umum gagasan Thomas merupakan rangkuman segala unsur filsafat keindahan sebelumnya. Dengan mengajukan peranan dan rasa si subyek dalam proses terjadinya keindahan, peranan subyek sebenarnya sudah diangkat juga dalam teori Aristoteles tentang drama. Mereka menggarisbawahi betapa pentingnya pengetahuan dan pengalaman empiris-apoisteriori yang terjadi dalam diri manusia, yang merupakan titik awal dari kebesaran suatu karya seni. 
Secara umum dapat dikatakan bahwa selama abad ke 20 ini para filsuf  barat yang membicarakan bidang estetika, cukup memperhatikan apa yang disebut pengalaman estetis, baik dalam diri si seniman pencipta karya seni maupun dalam diri para penggemar seni. Terdapat penekanan dalam kesatuan antara karya seni yang bersangkutan dengan para “pelaku” (pencipta dan penggemar ataupun pencipta ulang, seperti dalam musik, drama, tarian, malah sastra) : kedua belah pihak merupakan suatu bagian integral dari karya seni yang ditinjau dari sudut filsafat, sosiologi, psikologi dan sekarang komunikasi.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Integrasi Informasi

Ciri-Ciri Public Relations

Definisi Teori Belajar Sosial